Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam.
Pasti, sebab, penghuni lain sibuk dengan aktivitas di tempat kerja
masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu hal.
Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di
sekitarnya. Ah, seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya
aku menuliskan di papan. Seandainya aku…
Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda?
Apa memang memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang
sangat besar. Setidaknya, aku masih ingat beberapa hal yang aku lakukan
di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam dengan baik kejadian 15
tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua
tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena
keteledoranku. Benarkah aku teledor?
Brak!!…
Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka
dengan dorongan keras dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung
antara otak dan hatinya. Dengan napas memburu, tangannya mengobrak-abrik
meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak peduli dengan buku
dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya
melirik jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar
mendorong menit demi menit terlewati. Detak jantungnya seolah ingin
mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik yang selalu
menambahkan butiran keringat di dahinya.
“Ah…! Akhirnya ketemu juga.” Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab,
waktu yang dimiliki tidak banyak. Disekanya keringat yang semakin
berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang terlalu lama
menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya.
Terbayang di kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot
mata tajam ingin menelannya bulat-bulat. Siapa yang mau berurusan
dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih mendapat
omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya.
Apalagi kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba
mengingat-ingat. Selalu telat mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa
ditebak oleh semua orang. LUPA!
“Oh, Tuhan!” dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar
dengan masalah yang menerornya. “Bukankah semua jawaban ini ada di buku
Statistika. Dan, bukuku… di mana bukuku??”
Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas
rambutnya dengan kuat. “Sialan si Roni!” kutuknya kesal. Dengan gusar
dia menekan keypad ponsel. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut.
Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut…, Dicobanya sekali
lagi.
Tuu…ut. Tuu..ut. Tuu..ut. “Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok
nggak nongol di kampus? Kita lagi…” Tak sempat suara di sebrang
meneruskan kalimatnya.
“Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak
yang punya belum ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di
rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!”
“Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!”
“Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir? Siapa? Emang kucing?!”
“Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit
lupamu kian parah. Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah
saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha ha ha… !” Klik! Sambungan
diputus.
Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.
Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang… Klik! Ponsel terlempar di atas
bantal. Dia rebahkan badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk
Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap meja belajarnya yang tak pernah
rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak lagi
berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun
membiarkan buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak
hampir tidur tertumpuk buku lain di sebelah kirinya. Pasti buku yang
seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat tebal. Oh!
Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan….
Aha…! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu,
ketika akan mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk
menemani ibu belanja. Lalu… Lalu… Aaahh! Kepalan tangannya meninju
telapak tangan kiri dengan gemas.
Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa
di mana meletakkan buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding.
Tak ada pilihan. Aku harus mengerjakannya sekarang meski tanpa buku
statistik itu.
Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya
mengumpulkan kertas yang memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan
dipindahkan ke lantai pojok kamar. Dipandanginya meja yang kini bebas
dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu yang dirasa masih
kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang
terjepit antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa
kertas. Tapi, terasa sangat sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari
tembok.
Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. “Yess!!.. akhirnya kutemukan buruanku.”
****
Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani
menyeruput juice avokad yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak
berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di dinding kantin. Masih ada
seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan semilir
angin yang menerobos kantin pelan-pelan.
“Di sini rupanya kau, Dan.” Sebuah tepukan keras dirasakan pundak
kanan Dani. Sebenarnya tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang
berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang medok itu?
“Lo sendiri?”
“Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?”
Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.
“Pulang?”
Laki- laki di depannya mengangguk mantap.
“Trus, tugas statitiskmu?”
“Tugas statistik?” Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.
“Ha…ha…haaa…” Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya. Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.
“Dan…Dan… tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu
juga yang membuatmu marah-marah padaku, kan?” Roni mendekatkan wajahnya
yang penuh jerawat batu ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya
ditempelkan ke kening Dani.
“Hmm… Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ,” ucapnya pelan. “Ingatanmu semakin payah.”
“Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!”
“Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu.”
“Maksudnya?”
“Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan.
Karena hari ini Pak Naryo masih di luar negeri. Bukankah itu yang
disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu lalu. Begitu
mudahnya kau melupakan itu teman?”
“Jadi?”
“Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha…haa.. ha..”
Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya
Posting Komentar - Back to Content