Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang
pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
“Tapi aku datang tidak sebagai putramu,” kata pengacara muda itu,
“aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan
keadilan di negeri yang sedang kacau ini.”
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak
terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan
suara yang tenang dan agung.
“Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?”
Pengacara muda tertegun. “Ayahanda bertanya kepadaku?”
“Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini.”
Pengacara muda itu tersenyum.
“Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku.”
“Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani,
kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan
kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti
para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti
para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan,
namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk
menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu
pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah
membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di
luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak
pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di
lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang
sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak
belajar dari buku itu.”
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba
memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun
sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.
“Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan
seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun
bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap
kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk
menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah
tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya
penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna,
tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri.”
Pengacara tua itu meringis.
“Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa
bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan.”
“Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!”
Pengacara tua itu tertawa.
“Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!” potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
“Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan,”
sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati
juga pujian itu, “jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri
dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam
doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air,
bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini.”
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
“Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog.”
“Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya.”
“Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk
membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati.
Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan
kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan
seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah.
Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk
membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater
spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada
kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang
pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam
dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua
sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara
yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak
boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang
kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan
berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir.
Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang
mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah
memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia,
bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara
tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman
tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka
negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah
kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya.
Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku
tentang.
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain
harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan
selama ini.”
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
“Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah
keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena
setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang
ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk
membelanya.”
“Lalu kamu terima?” potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
“Bagaimana Anda tahu?”
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke
tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak
ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: “Sebab aku
kenal siapa kamu.”
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
“Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang
pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar
aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku
mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu
pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang
seadil-adilnya.”
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
“Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?”
“Antara lain.”
“Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku.”
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
“Jadi langkahku sudah benar?”
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.
“Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan
dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik
tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan
penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai
ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun,
tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak
peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai
profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu
membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan
keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman
dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?”
“Tidak! Sama sekali tidak!”
“Bukan juga karena uang?!”
“Bukan!”
“Lalu karena apa?”
Pengacara muda itu tersenyum.
“Karena aku akan membelanya.”
“Supaya dia menang?”
“Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya
usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati,
kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan
pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar
itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya
sebagai klienku.”
Pengacara tua termenung.
“Apa jawabanku salah?”
Orang tua itu menggeleng.
“Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi
persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan
berhasil keluar sebagai pemenang.”
“Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan.”
“Tapi kamu akan menang.”
“Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang.”
“Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah
bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara
itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah
saat ini.”
Pengacara muda itu tertawa kecil.
“Itu pujian atau peringatan?”
“Pujian.”
“Asal Anda jujur saja.”
“Aku jujur.”
“Betul?”
“Betul!”
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
“Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?”
“Bukan! Kenapa mesti takut?!”
“Mereka tidak mengancam kamu?”
“Mengacam bagaimana?”
“Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?”
“Tidak.”
Pengacara tua itu terkejut.
“Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?”
“Tidak.”
“Wah! Itu tidak profesional!”
Pengacara muda itu tertawa.
“Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!”
“Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?”
Pengacara muda itu terdiam.
“Bagaimana kalau dia sampai menang?”
“Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!”
“Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?”
Pengacara muda itu tak menjawab.
“Berarti ya!”
“Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!”
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua
tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia
mengangkat tangannya.
“Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok.”
“Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut.”
“Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau
perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu
ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi
kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?”
“Betul.”
“Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh
berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari
pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya
akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan
suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional.”
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
“Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu
pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah
sangat rindu kepada dia.”
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk
ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan
dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
“Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional.”
“Tapi…”
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya
ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya.
Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
“Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam.”
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata
yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia
memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya.
Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan
sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.
“Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan
oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu
tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan
membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di
negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan
semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya.
Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai.”
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan.
Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan
memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa
terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api
semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi.
Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke
jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung
pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu
diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat.
Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak
menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris
jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh
wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi
pengacara besar itu.
“Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan
meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku,” rintihnya dengan
amat sedih, “Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi
kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu
kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional,
tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa
kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah
perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut
peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?”
***
Posting Komentar - Back to Content